INDONESIA tidak hanya memiliki tempat wisata dengan pemandangan indah, tapi juga destinasi-destinasi budaya dengan keunikannya. Salah satunya adalah Tana Toraja di Sulawesi Selatan.
Tana Toraja merupakan objek wisata yang terkenal dengan kekayaan budayanya. Kabupaten yang terletak sekira 350 km sebelah utara Makassar itu sangat terkenal dengan bentuk bangunan rumah adatnya.
Rumah adat ini bernama tongkonan. Atapnya terbuat dari daun nipa atau kelapa dan mampu bertahan sampai 50 tahun. Tongkonan juga memiliki strata sesuai derajat kebangsawanan masyarakat, seperti strata emas, perunggu, besi, dan kuningan.
“Saking melekatnya imej Tana Toraja dengan bangunan rumah adat ini, sebagai bentuk promosi pariwisata dan untuk menggaet turis Jepang ke daerah ini, maka rumah adat dibangun di Negeri Matahari Terbit itu,” tutur Afif Farhan (24), salah satu wisatawan yang pernah ke Tana Toraja saat dihubungi
okezone, belum lama ini.
Ia menambahkan, bangunan tongkonan dikerjakan orang Toraja sendiri dan diboyong pengusaha pariwisata ke Negeri Sakura. “Sekarang, di Jepang sudah ada dua tongkonan yang sangat mirip dengan tongkonan asli. Kehadiran tongkonan selalu membuat kagum masyarakat negeri tersebut karena bentuknya yang unik. Perbedaannya dengan yang ada di Tana Toraja hanya terletak pada atapnya yang menggunakan daun sagu,” paparnya.
Selain itu, menurut Rama, Masih banyak lagi daya tarik Tana Toraja selain upacara adat rambu solo (pemakaman) yang sudah tersohor selama ini. Sebutlah kuburan bayi di atas pohon tarra di Kampung Kambira, Kecamatan Sangalla, sekira 20 km dari Rantepao, yang disiapkan bagi jenazah bayi berusia 0-7 tahun.
“Meski mengubur bayi di atas pohon tarra sudah tidak dilaksanakan lagi sejak puluhan tahun terakhir, pohon tempat ‘menyimpan’ mayat bayi itu masih tetap tegak dan banyak dikunjungi wisatawan,” imbuhnya.
Rama melanjutkan, di atas pohon tarra–yang buahnya mirip buah sukun–, tersimpan puluhan jenazah bayi. Sebelum jenazah dimasukkan ke batang pohon, terlebih dahulu batang pohon dilubangi. Mayat bayi diletakkan ke dalam, lalu ditutupi serat pohon kelapa. Setelah puluhan tahun, jenazah bayi akan menyatu dengan pohon.
“Ini daya tarik bagi para pelancong dan untuk masyarakat Tana Toraja tetap menganggap tempat tersebut suci seperti anak yang baru lahir,” tandasnya.
Penempatan jenazah bayi di pohon ini disesuaikan dengan strata sosial masyarakat. Makin tinggi derajat sosial keluarga, maka makin tinggi letak bayi yang dikuburkan di batang pohon tarra.
Selain itu, bayi yang meninggal dunia diletakkan sesuai arah tempat tinggal keluarga yang berduka. Kalau rumahnya ada di bagian barat pohon, maka jenazah anak akan diletakkan di sebelah barat.
Afif menjelaskan, untuk dapat sampai di Tana Toraja yang mengagumkan ini, ada jalur penerbangan domestik Makassar-Tana Toraja. Penerbangan ini hanya sekali dalam sepekan dan memakai pesawat kecil berpenumpang delapan orang.
“Waktu yang dibutuhkan cukup singkat, hanya 45 menit dari Bandara Hasanuddin Makassar. Dan jika lewat darat, perjalanan yang cukup melelahkan membutuhkan waktu tujuh jam,” tuturnya.
Afif mengungkapkan, event yang menarik di kawasan wisata ini adalah upacara pemakaman jenazah (rambu solo) dan pesta syukuran (rambu tuka) yang merupakan kalender tetap tiap tahun. Selain event tersebut, pengunjung bisa melihat dari dekat objek wisata budaya menarik lainnya, seperti penyimpanan jenazah di penampungan mayat berbentuk kontainer ukuran raksasa dengan lebar tiga meter dan tinggi 10 meter serta tongkonan yang sudah berusia 600 tahun di Londa, Rantepao.