Pasca-kepemimpinan Nurdin Halid yang dinilai “korup” dan arogan, PSSI diharapkan mampu merevitalisasi diri di bawah kepemimpinan Johar Arifin. Namun, agaknya setali tiga uang. Kepengurusan PSSI justru makin semrawut dan kian tak jelas visinya.
Kompetisi elite sepak bola tanah air di bawah LPI dan LSI jelas makin membuktikan betapa nilai nasionalisme pengurus PSSI kita benar-benar berada di titik nadi
Garuda Senior Memalukan-Garuda Muda Tak Berdaya..!!!!!!! saya bukan pengamat bola, lebih-lebih pemain. Namun, setiap kali Tim Garuda main, baik dalam event regional maupun dunia, Garuda dan Merah Putih selalu bersemayam di dada. Ada nilai-nilai kebangsaan dan nasionalismeyang tertoreh di sana. imajinisme yang tumbuh liar di kepala, selalu saja membayangkan para pemain Timnas kita yang dibesut ketat dari 230-an juta penduduk di negeri ini bisa membobol gawang lawan. Eskpektasi besar selalu membayang di benak. Di tengah karut-marut dan beban persoalan bangsa yang makin berat dan rumit, kehadiran Tim PSSI diharapkan mampu menjadi medi pemersatu bangsa sebagaimana digagas pendirinya, Soeratin Sosrosoegondo. Soeratin yang menyelesaikan pendidikannya di sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman pada 1927 dan kembali ke Tanah Air pada 1928, menyadari sepenuhnya untuk mengimplementasikan apa yang sudah diputuskan dalam Sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Soeratin melihat sepak bola sebagai wahana terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda dalam menentang Belanda.
Dinamika PSSI pun mengalami pasang surut sebelum akhirnya benar-benar babak-belur. Bukan pada persoalan institusinya. Juga bukan persoalan skill dan mental pemain, melainkan lebih pada kekisruhan di level kepengurusan yang tak pernah bisa akur. Selain arogan dan egois, mental pengurus PSSI yang saat ini bercokol di ranah elite, makin kehilangan elan vital dan passion untuk membangun PSSI. Mereka lebih mengutamakan konglomerasi dan kongkalingkong “busuk” untuk memburu ambisi pribadi dan kelompok. Lihat saja kiprah pentas LPI (Liga Primer Indonesia) dan LSI (Liga Super Indonesia). Terbelahnya persekutuan Sepak bola tanah air dalam dua kubu yang saling “berseteru” jelas-jelas berdampak serius terhadap para pemain yang tak “berdosa”. Para pemain yang tergabung di LSI yang dianggap ilegal tidak boleh memperkuat Timnas. Akibatnya, talenta dan potensi besar anak-anak bangsa dalam bermain bola gagal teroptimalkan di atas pentas.
Walhasil, Tim Garuda Senior dilibas dan dipermalukan 0-10 oleh Tim Bahrain dalam pertandingan lanjutan prakualifikasi piala dunia 2014 zona Asia, Rabu, 29 Februari 2012 di Manama Stadion, Bahrain. Sementara, Tim Garuda Muda tak berdaya dihajar Tim Brunei Darussalam 0-2 dalam final perebutan Hassanal Bolkiah Trophy di Stadion National Brunei, Bandar Sri Begawan, Jumat, 9 Maret 2012. Dua kegagalan beruntun semacam itu seharusnya mampu membuka ruang kesadaran bagi para pengurus PSSI yang merasa hebat dan cerdas itu untuk kembali ke “khittah” dan kembali ke jalan yang benar.
Pasca-kepemimpinan Nurdin Halid yang dinilai “korup” dan arogan, PSSI diharapkan mampu merevitalisasi diri di bawah kepemimpinan Johar Arifin. Namun, agaknya setali tiga uang. Kepengurusan PSSI justru makin semrawut dan kian tak jelas visinya. Kompetisi elite sepak bola tanah air di bawah LPI dan LSI jelas makin membuktikan betapa nilai nasionalisme pengurus PSSI kita benar-benar berada di titik nadir. Kemelut berkepanjangan yang gagal dikelola hingga berdampak pada “kenyamanan” dan masa depan pemain telah melukai hati publik sepak bola tanah air. Prestasi makin menyurut, sementara para pengurus sibuk berapologi dan bermain retorika dalam menyelesaikan kemelut.
Sungguh, kita sangat berharap, PSSI tidak ikut-ikutan menambah beban persoalan bangsa yang sudah amat berat dan kompleks. Justru sebaliknya, PSSI diharapkan mampu menjadi “obor” di tengah kegelapan yang menyelimuti bumi nusantara tercinta ini. Dan itu bisa terwujud, jika prestasi demi prestasi mampu dipersembahkan untuk menyembuhkan luka bangsa ini. Ayolah, Bapak-bapak Pengurus PSSI yang terhormat, satukan dulu LPI dan LSI, duduk bersama dengan kepala jernih dan penuh wisdom. Kesampingkan pamrih-pamrih sempit dan naif! Lantas, hidupkan dan dinamiskan kompetisi dalam berbagai kelompok usia sejak dini, hingga kelak para pemain bola kita bisa tampil ngedap-edapi; skill hebat, berkarakter kuat, tangguh dan bernyali.
Ini hanya suara rakyat kecil yang masih menyimpan mimpi besar untuk melihat kiprah Timnas PSSI di pentas dunia. Haruskah mimpi besar itu kembali tenggelam akibat kepengurusan PSSI yang tidak visioner? ***